Jumat, 22 April 2022

Teori dan strategi Pembelajaran

 

Landasan Filosofis PTK

  1. Bagaimana implementasi dalil Charles Prosser ke-2 dan ke-16  pada pendidikan vokasi di Indonesia? 
  2. Pada situasi dan keadaan seperti apakah teori belajar behaviorisme, kognitivisme dan kostruktivisme menjadi teori yang tepat pada pendidikan vokasi? Berikan contoh-contoh kasusnya.
  3. Saat ini telah berkembang aliran baru teori belajar yang disebut konektivisme. Apa definisi teori belajar ini dan mengapa teori belajar ini diyakini dapat menjadi alternatif landasan teori belajar vokasi di era digital sekarang? Bagaimana langkah-langkah guru dan siswa yang tepat agar implementasi teori ini menjadi efektif?

Implementasi Prosser Dalil 2 dan 16 pada Pendidikan vokasi di Indonesia

Dalil 2: Pendidikan kejuruan yang efektif hanya dapat diberikan dimana tugas-tugas latihan dilakukan dengan cara, alat dan mesin yang sama seperti yang ditetapkan di tempat kerja.

Dalil 16: Pendidikan kejuruan memerlukan biaya tertentu dan jika tidak terpenuhi maka pendidikan kejuruan tidak boleh dipaksakan beroperasi.

Implementasi di Indonesia

Untuk dalil ke 2 : Melihat keadaan sekolah kejuruan di Indonesia, sangat sulit mewujudkan prinsip ini. Hal terjauh yang bisa dilaksanakan adalah menyediakan fasilitas praktek dasar sehingga lulusan nanti akan memiliki kompetensi dasar yang kuat untuk dikembangkan lebih lanjut jika sudah diterima di industri. Namun jika sekolah mampu menyelenggarakan praktek kerja langsung di industri secara memadai dari sisi waktu, intensitas dan dengan pengawasan yang baik, maka prinsip ini bisa terpenuhi. Dalam kenyataan sekolah kewalahan harus menempatkan siswa dalam jumlah banyak untuk melaksanakan praktek yang sesuai kurikulum langsung di lokasi industri.

Untuk dalil ke 16 : Prinsip ini banyak dilanggar. Prinsip sebaliknya yang justru sering dipakai yaitu, biarpun biaya tidak cukup yang penting dibuka dulu. Ini adalah prinsip yang salah namun justru menjadi mainstream di kalangan sekolah kejuruan. Pembukaan sekolah kejuruan membutuhkan dana sangat besar, pemerintah saat ini tidak bisa memenuhi seluruh kebutuhan di seluruh penjuru Nusantara, demikian juga swasta. Hanya beberapa sekolah saja, baik negeri maupun swasta, yang mampu membiayai sekolah yang dikelola secara memadai, sebagian besar lainnya tidak didukung sumber pembiayaan yang cukup.

Pada situasi dan keadaan seperti apakah teori belajar behaviorisme, kognitivisme dan kostruktivisme menjadi teori yang tepat pada pendidikan vokasi? Berikan contoh-contoh kasusnya.

Teori belajar behavioristik

Teori belajar behavioristik menyatakan bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku. Seseorang dianggap belajar jika ia telah mampu menunjukkan perubahan tingkah laku. Pentingnya masukan atau input yang berupa stimulus dan keluaran atau output yang berupa respons. Stimulus adalah sesuatu apa saja yang diberikan oleh guru kepada peserta didik, dan respon berupa rekasi atau tanggapan yang dihasilkan oleh peserta didik terhadap stimulus yang diberikan oleh guru. Penguatan (reinforcement) adalah faktor penting dalam belajar. Penguatan adalah apa saja yang dapar memperkuat timbulnya respons. Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respons akan semakin kuat. Demikian juga jika penguatan dikurangi (negative reinforcement) maka respons juga akan menguat. Aplikasi teori ini dalam pembelajaran, bahwa kegiatan belajar ditekankan sebagai aktifitas “mimetic” yang menuntut peserta didik untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari. Penyajian materi pelajaran mengikuti urutan dari bagian-bagian ke keseluruhan. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil, dan evaluasi menuntut satu jawaban benar. Jawaban yang benar menunjukkan bahwa peserta didik telah menyelesaikan tugas belajarnya.

Menurut Putu Sudira (2016:163) teori belajar behavioristik relevan digunakan dalam belajar skill motorik pada level pemula. Pembelajar kejuruan pemula sebelum berlatih suatu skill motorik memerlukan interaksi sosial dengan mengamati kemudian meniru sikap dan cara kerja expert atau guru (teori Bandura), mempraktikkan secara langsung (teori Skinner), diulang-ulang hingga menguasai (teori Pavlov), mempersiapkan perangkat latihan dan mental peserta didik sebelum latihan (teori Thorndike).Teori belajar behavioristik bermanfaat pula untuk menghadapi pembelajar kejuruan yang pasif. Guru mendesain pembelajaran sedemikian rupa sebagai bentuk stimulus agar mendapat respon pembelajar. Di Indonesia umumnya siswa SMK masih cenderung pasif dalam proses pembelajaran apalagi siswa pemula atau kelas X.

Teori Belajar kognitif

Pengertian belajar menurut teori belajar kognitif adalah perubahan persepsi dan pemahaman, yang tidak selalu berbentuk tingkah laku yang dapat diamati dan dapat diukur. Asumsi teori ini adalah bahwa setiap orang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang telah tertata dalam bentuk struktur kognitif yang dimilikinya. Proses belajar akan berjalan dengan baik jika materi pelajaran atau informasi baru beradaptasi dengan struktur  kognitif yang telah dimiliki seseorang. Menurut teori kognitif, ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seseorang melalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan. Proses ini tidak terpatah-pata, terpisah-pisah, tapi melalui proses yang mengalir, bersambung-sambung, dan menyeluruh. Selama kegiatan pembelajaran berlangsung, keterlibatan peserta didik secara aktif amat dipentingkan. Untuk menarik minat dan meningkatkan retensi belajar perlu mengkaitkan pengetahuan baru dengan setruktur kognitif yang telah dimiliki peserta didik. Materi pelajaran disusun dengan menggunakan pola atau logika tertentu, dari sederhana ke kompleks. Perbedaan individual pada diri peserta didik perlu diperhatikan, karena faktor ini sangat mempengaruhi keberhasilan belajar peserta didik.

Teori kognitif dalam pendidikan kejuruan digunakan dalam pembelajaran ketrampilan berpikir (thinking skills). Selain skill motorik, skill kognitif  diperlukan dalam pendidikan kejuruan abad 21 untuk membekali lulusan mudah beradaptasi dalam dunia kerja yang mengalami perubahan sangat cepat dibidang teknologi. Putu Sudira (2016: 166) menyatakan High Order Thinking Skill (HOTS) semakin dibutuhkan dalam pembelajaran abad 21. Critical thinking, creativity, communication, collaboration, penggunaan multimedia, pemrosesan informasi merupakan variabel penting belajar abad 21 sebagai dasar mengkonstruksi pengetahuan. Pembelajaran TVET membutuhkan keaktifan dalam interakaksi sosial, membangun ikon, menggunakan simbol-simbol atau bahasa dan didisplaykan menjadi rumus, model, konsep, algoritma program, dan sebagainya. Belajar dengan memecahkan masalah dari yang sederhana ke yang komplek. Dalam pengembangan kompetensi TVET diperlukan konsep belajar hand-on, mind on, dan heart on.

 

 

Teori Belajar Konstruktivistik

Pandangan konstruktivistik yang mengemukakan bahwa belajar merupakan usaha pemberian makna oleh peserta didik kepada pengalamannya melalui asimilasi dan akomodasi yang menuju pada pembentukan struktur kognitifnya, memungkinkan mengarah kepada tujuan tersebut. Oleh karena itu pembelajaran diusahakan agar dapat memberikan kondisi terjadinya proses pembentukan tersebut secara optimal pada diri peserta didik. Peserta didik diberikan kesempatan untuk mengembangkan ide-idenya secara luas. Sementara peranan guru dalam belajar konstruktivistik adalah membantu agar proses pengkonstruksian pengetahuan oleh peserta didik berjalan lancar. Guru tidak mentransfer pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membantu peserta didik untuk membentuk pengetahuannya sendiri dan dituntut untuk lebih memahami jalan pikiran atau cara pandang peserta didik dalam belajar.

Berdasarkan teori konstruktivis tersebut banyak model pembelajaran berpikir tingkat tinggi yang diciptakan. Sekolah kejuruan relevan menerapkan teori ini untuk menjawab tantangan dunia kerja abad 21 yang memerlukan tenaga kerja yang memiliki skill teknik sekaligus kemampuan beradaptasi dengan pengetahuan baru. Pembelajaran berlandasan teori konstruktivis menekankan pada kooperatif dan kolaboratif dengan pembentukkan kelompok kerja siswa. Hal ini sesuai dengan kebutuhan skill abad 21 yang memerlukan  kemampuan kerja dalam tim. Teori konstruktivis menginspirasi para ahli pembelajaran untuk membuat model-model pembelajaran baru berbasis konstruktivis.

 

Saat ini telah berkembang aliran baru teori belajar yang disebut konektivisme. Apa definisi teori belajar ini dan mengapa teori belajar ini diyakini dapat menjadi alternatif landasan teori belajar vokasi di era digital sekarang? Bagaimana langkah-langkah guru dan siswa yang tepat agar implementasi teori ini menjadi efektif?

Teori konektivisme adalah

Menurut George Siemens (2004) connectivisme merupakan teori pembelajaran yang digunakan untuk era digital kini. Dalam teori ini menjelaskan pembelajaran ialah proses yang berlaku berdasarkan kepelbagaian pemindahan unsur-unsur secara berterusan. Titik permulaan pembelajaran bermula dengan individu menyalurkan maklumat ke dalam rangkaian dan idividu lain menerimanya dan menyalurkan semula ke dalam rangkaian. Ia akan menjadi satu kitaran dalam rangkaian. Connectivisme adalah integrasi prinsip yang diekplorasi melalui teori chaos, network, dan teori kompleksiti dan organisasi diri. Belajar adalah proses yang terjadi dalam lingkungan yang tidak nampak kepada peningkatan elemen-elemen. Kandungan pelajaran tidak seluruhnya dikawal oleh individu.

Connectivisme menjelaskan proses pembelajaran yang memungkinkan orang dapat berinteraksi, berbagi, berdialog, dan berpikir bersama dalam sebuah koneksi atau jaringan.

Prinsip teori konektivisme ialah memandang keragaman pendapat sebagai sumber informasi pengetahuan dan pembelajaran. Pembelajaran menjadi proses menghubungkan informasi dari berbagai sumber dan konteks dalam suatu komunitas, jaringan, atau basis data dengan dukungan teknologi. Kemampuan untuk mengetahui lebih banyak dianggap lebih penting daripada apa yang saat ini diketahui, Dan, terserapnya pengetahuan yang akurat dan terkini adalah tujuan dari semua kegiatan pembelajaran konektivisme yang fleksibel.

Aktivitas guru dan siswa dalam pembelajaran konektivisme ialah membangun koneksi dan jaringan belajar online atau personal learning network. Selain itu dalam prosesnya, siswa dapat menemukan informasi yang dibutuhkan secara mandiri, selain itu juga memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan kolaborasi dan diskusi dengan anggota lain di dalam koneksi atau jaringan belajar online, memanfaatkan siswa yang sudah akrab dengan online learning tools seperti penggunaan web dan media sosial untuk mendesain metode pembelajaran, (Dr Muchlas, MT, Rektor Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta







0 $type={blogger}:

Posting Komentar

Terimakasih sudah mengunjungi

Photo Galery

Prodmat 1
Prodmat 2
Prodmat 3
Prodmat 4
Prodmat 5