Landasan Filosofis PTK
- Bagaimana implementasi
dalil Charles Prosser ke-2 dan ke-16 pada pendidikan vokasi di
Indonesia?
- Pada situasi dan
keadaan seperti apakah teori belajar behaviorisme, kognitivisme dan
kostruktivisme menjadi teori yang tepat pada pendidikan vokasi? Berikan contoh-contoh
kasusnya.
- Saat ini telah
berkembang aliran baru teori belajar yang disebut konektivisme. Apa
definisi teori belajar ini dan mengapa teori belajar ini diyakini dapat
menjadi alternatif landasan teori belajar vokasi di era digital
sekarang? Bagaimana langkah-langkah guru dan siswa yang tepat agar
implementasi teori ini menjadi efektif?
Implementasi Prosser Dalil 2 dan 16 pada Pendidikan vokasi
di Indonesia
Dalil 2:
Pendidikan kejuruan yang efektif hanya dapat diberikan dimana tugas-tugas
latihan dilakukan dengan cara, alat dan mesin yang sama seperti yang ditetapkan
di tempat kerja.
Dalil 16: Pendidikan
kejuruan memerlukan biaya tertentu dan jika tidak terpenuhi maka pendidikan
kejuruan tidak boleh dipaksakan beroperasi.
Implementasi di
Indonesia
Untuk dalil ke 2 : Melihat keadaan
sekolah kejuruan di Indonesia, sangat sulit mewujudkan prinsip ini. Hal terjauh
yang bisa dilaksanakan adalah menyediakan fasilitas praktek dasar sehingga
lulusan nanti akan memiliki kompetensi dasar yang kuat untuk dikembangkan lebih
lanjut jika sudah diterima di industri. Namun jika sekolah mampu
menyelenggarakan praktek kerja langsung di industri secara memadai dari sisi
waktu, intensitas dan dengan pengawasan yang baik, maka prinsip ini bisa
terpenuhi. Dalam kenyataan sekolah kewalahan harus menempatkan siswa dalam
jumlah banyak untuk melaksanakan praktek yang sesuai kurikulum langsung di
lokasi industri.
Untuk dalil ke 16 : Prinsip ini banyak
dilanggar. Prinsip sebaliknya yang justru sering dipakai yaitu, biarpun biaya
tidak cukup yang penting dibuka dulu. Ini adalah prinsip yang salah namun
justru menjadi mainstream di kalangan sekolah kejuruan. Pembukaan sekolah
kejuruan membutuhkan dana sangat besar, pemerintah saat ini tidak bisa memenuhi
seluruh kebutuhan di seluruh penjuru Nusantara, demikian juga swasta. Hanya
beberapa sekolah saja, baik negeri maupun swasta, yang mampu membiayai sekolah
yang dikelola secara memadai, sebagian besar lainnya tidak didukung sumber
pembiayaan yang cukup.
Pada situasi dan keadaan seperti apakah teori belajar behaviorisme,
kognitivisme dan kostruktivisme menjadi teori yang tepat pada pendidikan
vokasi? Berikan contoh-contoh kasusnya.
Teori
belajar behavioristik
Teori
belajar behavioristik menyatakan bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku.
Seseorang dianggap belajar jika ia telah mampu menunjukkan perubahan tingkah
laku. Pentingnya masukan atau input yang berupa stimulus dan keluaran atau
output yang berupa respons. Stimulus adalah sesuatu apa saja yang diberikan
oleh guru kepada peserta didik, dan respon berupa rekasi atau tanggapan yang dihasilkan
oleh peserta didik terhadap stimulus yang diberikan oleh guru. Penguatan
(reinforcement) adalah faktor penting dalam belajar. Penguatan adalah apa saja
yang dapar memperkuat timbulnya respons. Bila penguatan ditambahkan (positive
reinforcement) maka respons akan semakin kuat. Demikian juga jika penguatan
dikurangi (negative reinforcement) maka respons juga akan menguat. Aplikasi
teori ini dalam pembelajaran, bahwa kegiatan belajar ditekankan sebagai
aktifitas “mimetic” yang menuntut peserta didik untuk mengungkapkan kembali
pengetahuan yang sudah dipelajari. Penyajian materi pelajaran mengikuti urutan
dari bagian-bagian ke keseluruhan. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada
hasil, dan evaluasi menuntut satu jawaban benar. Jawaban yang benar menunjukkan
bahwa peserta didik telah menyelesaikan tugas belajarnya.
Menurut Putu Sudira
(2016:163) teori belajar behavioristik relevan digunakan dalam belajar skill motorik pada level pemula. Pembelajar kejuruan pemula
sebelum berlatih suatu skill motorik memerlukan interaksi sosial dengan
mengamati kemudian meniru sikap dan cara kerja expert atau guru (teori
Bandura), mempraktikkan secara langsung (teori Skinner), diulang-ulang hingga
menguasai (teori Pavlov), mempersiapkan perangkat latihan dan mental peserta
didik sebelum latihan (teori Thorndike).Teori belajar behavioristik bermanfaat
pula untuk menghadapi pembelajar kejuruan yang pasif. Guru mendesain
pembelajaran sedemikian rupa sebagai bentuk stimulus agar mendapat respon
pembelajar. Di Indonesia umumnya siswa SMK masih cenderung pasif dalam proses
pembelajaran apalagi siswa pemula atau kelas X.
Teori
Belajar kognitif
Pengertian
belajar menurut teori belajar kognitif adalah perubahan persepsi dan pemahaman,
yang tidak selalu berbentuk tingkah laku yang dapat diamati dan dapat diukur.
Asumsi teori ini adalah bahwa setiap orang memiliki pengetahuan dan pengalaman
yang telah tertata dalam bentuk struktur kognitif yang dimilikinya. Proses
belajar akan berjalan dengan baik jika materi pelajaran atau informasi baru
beradaptasi dengan struktur kognitif
yang telah dimiliki seseorang. Menurut teori kognitif, ilmu pengetahuan
dibangun dalam diri seseorang melalui proses interaksi yang berkesinambungan
dengan lingkungan. Proses ini tidak terpatah-pata, terpisah-pisah, tapi melalui
proses yang mengalir, bersambung-sambung, dan menyeluruh. Selama kegiatan
pembelajaran berlangsung, keterlibatan peserta didik secara aktif amat
dipentingkan. Untuk menarik minat dan meningkatkan retensi belajar perlu
mengkaitkan pengetahuan baru dengan setruktur kognitif yang telah dimiliki
peserta didik. Materi pelajaran disusun dengan menggunakan pola atau logika
tertentu, dari sederhana ke kompleks. Perbedaan individual pada diri peserta
didik perlu diperhatikan, karena faktor ini sangat mempengaruhi keberhasilan
belajar peserta didik.
Teori kognitif dalam
pendidikan kejuruan digunakan dalam pembelajaran ketrampilan berpikir (thinking skills). Selain skill motorik, skill kognitif diperlukan dalam pendidikan
kejuruan abad 21 untuk membekali lulusan mudah beradaptasi dalam dunia kerja
yang mengalami perubahan sangat cepat dibidang teknologi. Putu Sudira (2016:
166) menyatakan High Order Thinking Skill (HOTS) semakin dibutuhkan dalam
pembelajaran abad 21. Critical thinking, creativity, communication, collaboration, penggunaan multimedia, pemrosesan informasi merupakan
variabel penting belajar abad 21 sebagai dasar mengkonstruksi pengetahuan.
Pembelajaran TVET membutuhkan keaktifan dalam interakaksi sosial, membangun
ikon, menggunakan simbol-simbol atau bahasa dan didisplaykan menjadi rumus,
model, konsep, algoritma program, dan sebagainya. Belajar dengan memecahkan
masalah dari yang sederhana ke yang komplek. Dalam pengembangan kompetensi TVET
diperlukan konsep belajar hand-on, mind on, dan heart on.
Teori
Belajar Konstruktivistik
Pandangan
konstruktivistik yang mengemukakan bahwa belajar merupakan usaha pemberian
makna oleh peserta didik kepada pengalamannya melalui asimilasi dan akomodasi
yang menuju pada pembentukan struktur kognitifnya, memungkinkan mengarah kepada
tujuan tersebut. Oleh karena itu pembelajaran diusahakan agar dapat memberikan
kondisi terjadinya proses pembentukan tersebut secara optimal pada diri peserta
didik. Peserta didik diberikan kesempatan untuk mengembangkan ide-idenya secara
luas. Sementara peranan guru dalam belajar konstruktivistik adalah membantu
agar proses pengkonstruksian pengetahuan oleh peserta didik berjalan lancar.
Guru tidak mentransfer pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membantu
peserta didik untuk membentuk pengetahuannya sendiri dan dituntut untuk lebih
memahami jalan pikiran atau cara pandang peserta didik dalam belajar.
Berdasarkan teori
konstruktivis tersebut banyak model pembelajaran berpikir tingkat tinggi yang
diciptakan. Sekolah kejuruan relevan menerapkan teori ini untuk menjawab
tantangan dunia kerja abad 21 yang memerlukan tenaga kerja yang memiliki skill teknik sekaligus kemampuan beradaptasi dengan
pengetahuan baru. Pembelajaran berlandasan teori konstruktivis menekankan pada
kooperatif dan kolaboratif dengan pembentukkan kelompok kerja siswa. Hal ini
sesuai dengan kebutuhan skill abad 21 yang memerlukan kemampuan
kerja dalam tim. Teori konstruktivis menginspirasi para ahli pembelajaran untuk
membuat model-model pembelajaran baru berbasis konstruktivis.
Saat ini telah berkembang aliran baru teori belajar yang disebut
konektivisme. Apa definisi teori belajar ini dan mengapa teori belajar ini
diyakini dapat menjadi alternatif landasan teori belajar vokasi di era digital
sekarang? Bagaimana langkah-langkah guru dan siswa yang tepat agar
implementasi teori ini menjadi efektif?
Teori konektivisme adalah
Menurut George Siemens
(2004) connectivisme merupakan teori pembelajaran yang digunakan untuk era
digital kini. Dalam teori ini menjelaskan pembelajaran ialah proses yang
berlaku berdasarkan kepelbagaian pemindahan unsur-unsur secara berterusan.
Titik permulaan pembelajaran bermula dengan individu menyalurkan maklumat ke
dalam rangkaian dan idividu lain menerimanya dan menyalurkan semula ke dalam
rangkaian. Ia akan menjadi satu kitaran dalam rangkaian. Connectivisme adalah
integrasi prinsip yang diekplorasi melalui teori chaos, network, dan teori
kompleksiti dan organisasi diri. Belajar adalah proses yang terjadi dalam
lingkungan yang tidak nampak kepada peningkatan elemen-elemen. Kandungan
pelajaran tidak seluruhnya dikawal oleh individu.
Connectivisme menjelaskan proses pembelajaran yang memungkinkan
orang dapat berinteraksi, berbagi, berdialog, dan berpikir bersama dalam sebuah
koneksi atau jaringan.
Prinsip
teori konektivisme ialah memandang keragaman pendapat sebagai sumber informasi
pengetahuan dan pembelajaran. Pembelajaran menjadi proses menghubungkan
informasi dari berbagai sumber dan konteks dalam suatu komunitas, jaringan,
atau basis data dengan dukungan teknologi. Kemampuan untuk mengetahui lebih
banyak dianggap lebih penting daripada apa yang saat ini diketahui, Dan,
terserapnya pengetahuan yang akurat dan terkini adalah tujuan dari semua
kegiatan pembelajaran konektivisme yang fleksibel.
Aktivitas guru dan siswa dalam pembelajaran konektivisme ialah membangun koneksi dan jaringan belajar online atau personal learning network. Selain itu dalam prosesnya, siswa dapat menemukan informasi yang dibutuhkan secara mandiri, selain itu juga memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan kolaborasi dan diskusi dengan anggota lain di dalam koneksi atau jaringan belajar online, memanfaatkan siswa yang sudah akrab dengan online learning tools seperti penggunaan web dan media sosial untuk mendesain metode pembelajaran, (Dr Muchlas, MT, Rektor Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta
0 $type={blogger}:
Posting Komentar
Terimakasih sudah mengunjungi